Column

YOU ARE WHAT YOU WRITE, MASA SIH?

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Selaku pribadi dan rekan kerja, izinkan kami menghaturkan minal aidin wal faizin. Mohon maaf atas segala khilaf. Salam takdzim.” Begitu pesan Idul Fitriku. Pesan itu kukirim ke semua sahabatku yang sedang mengemban amanah sebagai tim manajemen kampusku. Ya, sebagai pimpinan di masing-masing unit. Dengan pengiriman pesan itu, kuingin menyapa mereka. Dan sekaligus meminta maaf atas segala khilaf. Untuk setahun yang berlalu. Dalam menjalankan tugas pekerjaan bersama mereka maupun sebagai pribadi. Idul fitri memang menjadi momentum penting. Meski menyapa dan meminta maaf tak harus menunggu momen lebaran itu.

Tapi walaupun begitu, sebagai orang yang sedang diberi amanah tertinggi di sebuah organisasi, menyapa dan atau meminta maaf duluan itu bagiku jauh lebih baik. Itu yang kuyakini selama ini. Itu yang kupedomani selama ini. Birokrasi memang penting sebagai mesin penggerak organisasi. Tapi, sebagai pribadi dan pengemban amanah publik itu, komunikasiku kepada sesama, lebih-lebih dalam struktur organisasi, mempersyaratkan pola hubungan yang cair. Dan mengawali menyapa atau meminta maaf adalah bagian dari kepentingan membangun pola hubungan yang cair itu. Semua itu kubutuhkan agar silaturahmi tetap terjalin. Dan komunikasi pun bisa sangkil dan mangkus.

Awalnya, aku memang tak memiliki ketertarikan khusus terhadap respon para rekan kerjaku. Ku tak peduli apapun respon-respon itu di awalnya. Karena yang kupentingkan adalah bahwa praktik menyapa dan meminta maaf itu berjalan baik di antara kami semua. Itu situasi batin yang terus kupelihara di antara anggota tim manajemenku. Dan itu saja yang menjadi perhatian awalku. Tak lebih dari itu. Hanya, melihat pola komunikasi yang terjadi melalui untaian kalimat dan simbol percakapan yang muncul, aku pun merasa tergelitik untuk membuat catatan telaah. Ada hal yang menarik untuk dibahas dan menjadi refleksi bagi munculnya pembelajaran sosial kita bersama. Sekali lagi, dasar catatan telaah ini adalah respon anggota tim manajemenku terhadap ucapan Idul Fitriku. Bukan pegawai pada umumnya. Apalagi dari para senior dan guru yang selalu membimbingku selama ini.

Lalu, apa yang menarik untuk ditelaah? Hal menarik yang penting ditelaah dan dicermati secara mendalam adalah bagaimana respon para rekan kerja di kampus tempat kami besar bareng-bareng. Bagaimana pola komunikasi dan isi pesan yang disampaikan saat menjawab kiriman pesan Idul Fitri yang kukirim sebelumnya kepada mereka. Tentu karena yang kulakukan adalah dengan mengirim pesan WhatsApp (WA) melalui personal chat (PC; sambungan percakapan personal; jalur pribadi), maka jawaban para rekan juga menggunakan saluran itu. Dan ini yang bagiku menarik untuk kuulas lebih jauh. Walaupun semua tak kuiringi dengan penyebutan identitas rekan tim manajemenku itu. Sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip confidentiality (kerahasiaan).

Dari puluhan personal chat yang muncul, kucatat tiga pola umum komunikasi. Pertama, komunikasi yang mengemuka dalam bentuk respon kaget-terkejut berbalut penghormatan. Ini terlihat dari ungkapan kalimat yang digunakan, dan beberapa di antaranya dari simbol komunikasi yang disampaikan. Pola komunikasi ini tampak menghitung banget struktur jabatan. Minimal tak mengesampingkannya. Ada penghormatan yang besar pada struktur jabatan dalam birokrasi kampus. Bagi mereka, tampak ada pemahaman kuat bahwa bagaimanapun komunikasi tak bisa meninggalkan struktur jabatan dalam birokrasi organisasi. Tampak sekali, kesantunan berbahasa (language politeness) mereka jaga dengan sangat kuat. Dan prinsip ini, sejatinya, bisa diperluas ke setting sosial komunikasi apapun.

Kesantunan berbahasa itu terlihat jelas dari ungkapan kalimat serta simbol komunikasi yang diungkapkan melalui respon balasan atas kiriman pesan Idul Fitriku. Beberapa di antaranya bisa dicontohkan melalui cuplikan singkat berikut: “Hari ini saya malu karena lebih dulu pak rektor yang mengucapkan selamat idul fitri.” Ada juga yang menjawab begini: “Duh, kedahuluan tahniahnya. Ngapunten. Pak Rektor… saya secara pribadi dan rekan kerja juga menghaturkan mohon maaf atas salah dan khilaf.” Mirip dengan pesan yang terakhir ini, ada pesan jawaban lain seperti ini: “Masya Allah pak rektor, sebagai bawahan, saya mohon maaf lahir batin.”

Masih ada pula yang lain seperti berikut ini: “Ya Alloh Pak Rektor, kami juga sekeluarga dan pribadi, nyuwun ikhlase penggalehngapunten sanget baru buka WA dan tidak mendahului mengucapkan riyayan.” Senafas dengan kutipan tersebut adalah kalimat jawaban lain seperti ini: “Ya Allah Prof Rektor, dalem terlambat jadinya, ngapunten nyuwun duko… .” Masih ada lagi yang berkirim jawaban begini: “Alhamdulillah, Pak Rektor berkenan menyapa saya melalui WA. Sami-sami Pak Rektor panjenengan selaku atasan kerja saya, rekan dan pemberi arah dalam mencapai tujuan UINSA yang jaya. Mohon maaf lahir batin atas segala khilaf dan salah saya.” Tentu di luar itu, masih ada beberapa lagi respon dengan tone yang serupa.  

Yang menarik ditelaah lagi adalah siapa pelaku pola komunikasi seperti ini? Kucatat identitas mereka. Untuk menjadi bahan telaah. Ada dari unsur pimpinan rektorat, di antaranya wakil rektor. Ada dari unsur dekan fakultas. Ada dari unsur pimpinan lembaga. Ada pula dari unsur wakil dekan. Dan juga ada dari unsur kepala unit pelaksana teknis. Bahkan juga dari unsur pimpinan tenaga kependidikan. Artinya, pola komunikasi kategori pertama ini dilakukan oleh para pemangku kepentingan lintas jabatan di struktur organisasi kampus. Tak hanya satu tingkat jabatan saja. Melainkan lintas jabatan lintas jenjang. Tentu, ini berarti adanya representasi merata tingkat jabatan lintas jenjang di kampus yang memiliki pola komunikasi berbentuk respon kaget-terkejut berbalut penghormatan.  

Pola komunikasi kedua cenderung standar. Kenapa disebut standar? Karena substansi kalimat pada jawaban atas ucapan Idul Fitri yang dikirimkan memang standar. Datar. Biasa-biasa saja. Umum-umum saja. Seakan-akan itu terjadi pada komunikasi pada galibnya. Di antara teman sejawat semata. Atau bahkan lebih umum dari itu. Tidak muncul ekspresi kekagetan. Atau keterkejutan. Atau kekaguman. Tak terdapat ungkapan yang berbalut penghormatan. Atas komunikasi yang terbangun. Oleh pimpinan kepada mereka masing-masing dalam jabatan yang berbeda-beda. Seperti halnya dilakukan oleh rekan-rekan mereka pada pola komunikasi pertama di atas.

Nah, mau tahu bagaimana pola komunikasi standar itu terjadi? Tengoklah ungkapan kalimat yang digunakan, seperti kutipan berikut: “Sami-sami Pak Rektor, kami juga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H.” Juga ada semisalnya seperti ini: “Waalaikumussalam. Maturnuwun sanget Prof Muzakki. Saya juga mohon maaf lahir batin… .” Juga masih ada contoh lain, seperti: “Dengan segala kerendahan hati, izin kami sekeluarga juga menghaturkan minal aidin wal faizin… .” Itu hanya Sebagian contoh semata. Di luar itu, masih banyak lainnya dengan redaksi dan substansi serupa.  

Pola komunikasi yang standar di atas tampak lemah dalam menghitung atau mempertimbangkan nilai struktur jabatan dalam organisasi untuk disertakan ke dalam substansi komunikasi yang dibangun. Lalu lemahnya penghitungan dan pertimbangan itu berpengaruh terhadap struktur kalimat yang dikirimkan sebagai responnya. Jawaban atas ucapan selamat Idul Fitri oleh pimpinan puncak organisasi tampak tak mengharuskan diri penerimanya untuk menjadikan struktur jabatan dalam birokrasi sebagai poin pertimbangan untuk diberikannya penghormatan yang memadai.

Bagi penganut pola komunikasi ini, ekspresi dan komunikasi bisa saja meninggalkan nilai struktur jabatan dalam birokrasi organisasi. Semua diperlakukan sama dan setara. Karena itu, dalam perspektif kajian pragmatik kebahasaan (pragmatics), kesantunan berbahasa tak tampak menonjol dalam ungkapan kalimat yang digunakan. Para pemilik ungkapan kalimat jawaban dimaksud tak kuat melibatkan kesantunan berbahasa dalam komunikasi mereka. Karena ungkapan komunikasinya standar. Datar. Dan, biasa-biasa saja. Itu semua dikarenakan ungkapan-ungkapan komunikasi itu tak melakukan pertimbangan tentang siapa lawan komunikasinya.

Pola komunikasi ketiga sangat simbolik. Mengapa disebut simbolik? Tak menggunakan ungkapan kata apa-apa. Apalagi dalam kalimat yang bermakna. Sama sekali tidak. Ungkapan komunikasi yang dilakukan menggunakan dua cara: emoji dan sticker. Untuk cara yang pertama, penggemar pola komunikasi ini menggunakan gambar atau simbol kecil berupa dua tangan yang ditempelkan ke depan (🙏). Emoji jenis ini memang sering digunakan oleh orang kebanyakan untuk menunjuk adanya permohonan maaf. Namun tentu makna spesifiknya tidak pernah bisa ditebak oleh selainnya. Lalu, emoji ini diimbuhi dengan sticker gambar diri pengirim dengan captionsami-sami”.   

Penggunaan pola komunikasi yang ketiga ini perlu diberi catatan lebih lanjut. Teknisnya, diawali oleh pertanyaan begini: kapan harusnya digunakan emoji dan sticker? Keduanya memang cara untuk mengungkapkan perasaan dan memberikan penekanan atas pesan yang sedang dikirimkan. Hanya, biasanya penggunaan emoji dan sticker itu dilakukan untuk mengganti keengganan berkomunikasi dengan menggunakan teks. Bisa saja karena alasan capek mencet tombol. Bisa saja karena malas menyambut pembicaraan atau kiriman pesan yang diterima. Bisa saja untuk menghindari main perasaan. Atau mungkin bisa juga karena alasan lain yang tidak bisa dipastikan sama antara satu orang dan lainnya.

Maka, penggunaan emoji dan sticker sangat disarankan untuk dihindari dalam komunikasi birokrasi dalam cakupan lebih luas. Minimal untuk kepentingan kesantunan komunikasi organisasi. Karena itu, pemegang amanah jabatan dalam organisasi pada jajaran apapun lebih baik menjauhi penggunaan emoji dan sticker dalam membangun komunikasi birokrasi dengan jajaran pimpinan di atasnya. Atau bahkan di antara sesama pemangku jabatan setara. Begitulah seharusnya komunikasi dibangun pada level kepemimpinan organisasi. Termasuk di perguruan tinggi.

Kalau dilakukan prosentase secara kasar, pola komunikasi yang paling banyak pengikutnya adalah pola komunikasi model kedua: komunikasi standar. Dalam kasus respon tim manajemen kampusku terhadap ucapan Idul Fitriku, mayoritas menjadi penggemar pola komunikasi jenis ini. Angka kasarnya mencapai 70 persen. Prosentase terbanyak kedua diraih oleh pola komunikasi pertama, yakni berbentuk respon kaget-terkejut berbalut penghormatan. Angka kasarnya mencapai 29 persen. Adapun penggemar pola komunikasi jenis ketiga, yakni simbolik, menempati hanya 1 persen saja. Itu pun dihuni oleh seorang pimpinan unit penyelenggara pendidikan. Sekali lagi, hanya oleh satu orang pimpinan unit penyelenggara pendidikan. Beda halnya dengan pola komunikasi model pertama dan kedua yang distribusi pengikutnya merata di semua pemangku kepentingan lintas jenjang jabatan.

Identifikasi atas tiga pola komunikasi di atas mengingatkan kita semua terhadap konsep interpersonal communication (komunikasi lintas personal). Konsep ini merujuk ke adanya komunikasi yang melibatkan dua atau lebih orang. Materi komunikasinya bisa meliputi pertukaran gagasan, pesan, dan bahkan bisa pula informasi di antara mereka. Sarananya bisa langsung melalui percakapan tatap muka atau bisa juga melalui perbincangan daring (online conversation). Bentuknya bisa berupa teks, gambar atau bahkan diskusi, rapat, dan perbincangan berjamaah berbasis video (video conference).   

Karena itu, semua pimpinan organisasi penting untuk melakukan pembudayaan komunikasi organisasi lintas jabatan yang baik di kalangan seluruh pegawai. Pertama, jauhi komunikasi birokrasi dalam organisasi dengan simbol semata tanpa teks. Emoji dan sticker tanpa teks hanya contoh belaka. Pertanyannya, mengapa begitu? Mengapa simbol semata tanpa teks dihindari? Karena simbol itu, meminjam perspektif ahli komunikasi Julia T. Wood (Interpersonal Communication: Everyday Encounters, 2016:105-107), tak lepas dari karakternya yang meliputi tiga aspek: suka-suka (arbitrariness), bermakna ganda bahkan jamak (ambiguity), dan tidak konkret (abstraction). Atas dasar itu, komunikasi dengan simbol semata tanpa teks menyimpan potensi ketidaksepahaman, kesalahpahaman, dan bahkan prasangka yang tidak perlu.

Foto: Sampul Depan Buku Interpersonal Communication Karya Julia T. Wood

Alih-alih, untuk menjamin komunikasi birokrasi yang baik, biasakan berkomunikasi dengan pesan teks secara jelas. Untuk kepentingan ini, maka teks jangan ditulis dalam singkatan atau kependekan. Itu semua dibutuhkan untuk menjaga kesantunan komunikasi birokrasi. Nah karena itu, kalau singkatan atau kependekan saja disarankan dihindari, maka penggunaan emoji dan sticker tentu sangat tidak disarankan dalam komunikasi birokrasi. Lagi-lagi, biar kejelasan lebih mengemuka daripada kesalahpahaman. Pemahaman lebih menyeruak daripada ketidaksepahaman. Pengertian lebih menonjol daripada prasangka. Jangan sampai penerima pesan salah paham! Apalagi gagal paham!

Berbagai emoji dan sticker tidak perlu di-remove dari koleksi pribadi pada aplikasi di gadget. Cukup disimpan sebagai koleksi privat saja. Yang kadang-kadang penting diunggah saat ada perbincangan santai. Buat lucu-lucuan. Buat menyegarkan suasana. Agar komunikasi di internal anggota tim manajemen tak selalu kaku. Garing, kata anak muda. Karena lucu-lucuan juga dibutuhkan untuk menjadi mood boaster.  Penguat suasana hati. Penguat situasi batin. Menuju kuatnya motivasi diri. Dalam berkinerja tanpa henti. Dalam berprestasi tanpa berkesudahan untuk kinerja organisasi.

Langkah pembudayaan komunikasi organisasi lintas jabatan yang kedua adalah, pilihlah diksi yang tepat untuk komunikasi lintas personal. Lebih-lebih dalam komunikasi birokrasi. Apalagi, kelak dikaitkan dengan kepentingan penunaian amanah layanan umum. Karena bagaimanapun, siapa kita bisa dibaca dari apa yang kita tulis. You are what you write. Begitu quote yang sangat popular belakangan ini. Memang substansi quote itu sudah bisa ditemukan sejak dulu. Tapi, quote itu makin popular belakangan saat komunikasi lintas personal sudah tak selalu dimoderatori (mediated). Munculnya berbagai platform media sosial menjadikan quote itu semakin dekat di pikiran dan hati. Karena nilai populernya semakin tak terbendung lagi.

Media sosial memang bagus untuk menjadi sarana mempercepat sampainya pesan komunikasi organisasi kepada internal pegawai dan khalayak ramai. Namun, jika tak hati-hati, kebiasaan berkomunikasi di media sosial yang cenderung pendek-pendek membuat kita terbiasa dengan penulisan singkatan-singkatan dan atau kependekan-kependekan. Karena itu, siapapun kita dan dalam jabatan apapun di organisasi harus menjaga betul pola komunikasi birokrasi yang santun dalam struktur organisasi. Untuk itu, penggunaan ungkapan, kalimat dan bahkan penulisan ejaan harus dilakukan dengan kehati-hatian dan kecermatan.

Apalagi, ungkapan kalimat dan isinya akan menentukan sejauh mana tingkat kedekatan (proximity) dan keterikatan personal (personal attachment) antara pengirim pesan dan penerima-penjawabnya. Sejauh mana tingkat kedekatan dan keterikatan personal seseorang dengan lainnya bisa dibaca dari ungkapan kalimat dan isi pesan yang dikirim dalam komunikasi di antara mereka. Semakin dekat, semakin melibatkan emosi-rasa. Begitu pula sebaliknya. Semakin jauh, semakin tak ada emosi yang terlibat. Persis seperti ungkapan video TikTok yang sedang viral tentang hubungan dengan mantan dan kekasih baru: “Kembali ke yang lama tidak bisa, ke yang baru tak ada rasa” 🤣. Komunikasinya tak ada rasa. Itu jika tingkat kedekatan dan keterikatan personal tak ada. Minimal lemah.

Selanjutnya, langkah pembudayaan komunikasi organisasi lintas jabatan yang ketiga adalah, jagalah kekuatan relevansi dan nilai kontekstual kalimat beserta isi yang dikandungnya dalam komunikasi. Tak sedikit untaian kata dan kalimat tidak terlalu nyambung dengan pesan yang direspon. Dalam konteks ucapan Idul Fitri, sebagai misal, isi pesan yang terkirim memang sama-sama dalam kepentingan untuk meminta dan memberi maaf. Karena momennya memang Idul Fitri. Tapi, ungkapan yang muncul tak mengenal posisi kiriman pesan itu sebagai pengirim pesan atau penerima pesan. Walaupun seharusnya berposisi sebagai penerima dan atau penjawab pesan, isinya sama saja seakan-akan sebagai pengirim ucapan Idul Fitri. Tak ada bedanya. Sehingga pesan yang terkirim lepas dari nilai relevansi dan kontekstualitas posisi pengirimnya.

Mengapa itu terjadi? Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu faktornya. Kemajuan media komunikasi dalam bentuk gadget memfasilitasi komunikasi dengan fasilitas template. Lalu, orang cenderung untuk melakukan copy (salin) dan paste (tempel). Sehingga, yang muncul dalam komunikasi interpersonal itu ibarat iklan sebuah produk minuman “Apapun makanannya, minumnya teh botol sosro.” Apapun pesan yang terkirim oleh orang lainnya, jawabannya adalah kalimat yang ada atau sudah disediakan dalam template yang selanjutnya dilakukan praktik copy dan paste atasnya.

Kemajuan teknologi memang membuat banyak hal jadi impersonal. Termasuk dalam bidang informasi dan komunikasi. Tapi, meski begitu, penting dicatat: dalam komunikasi interpersonal, hubungan antara bahasa (language) dan karakter (character) muncul sangat kuat (lihat James Boyd White, When Words Lose Their Meaning, 1985: 109). Bahkan, pada halaman xi di buku tersebut, James Boyd White mengatakan begini: “Whenever you speak, you define a character for yourself.” Kapan pun Anda berbicara, Anda sedang mendefinisikan karakter dirimu sendiri. Ini berarti bahwa bahasa dalam bentuk percakapan bisa digunakan untuk membaca karakter seseorang.

Foto: Sampul Depan Buku When Words Lose Their Meaning Karya James Boyd White

Kalau perspektif James Boyd White di atas dipinjam untuk konteks menulis, maka akan berbunyi begini: Whenever you write, you define a character for yourself. Kapan pun Anda menulis, Anda sedang mendefinisikan karakter dirimu sendiri. Ini artinya, bahasa dalam bentuk tulisan bisa digunakan untuk membaca karakter seseorang. Dengan ungkapan lain, karakter seseorang bisa dicermati dari tulisannya. Intinya, begitulah kuatnya pengaruh bahasa pada bangunan karakter diri seseorang. Lebih spesifik lagi, begitu mudahnya kita bisa membaca karakter seseorang dari tulisannya. Sederhananya, you are what you write. Jati dirimu bergantung apa yang kau tulis. Seperti kuulas sebelumnya.

Lalu pertanyaannya, dari mana ngukur karakter diri dalam hubungannya dengan bahasa? Dari kesantunan berbahasa yang diwujudkan melalui ungkapan kalimat serta simbol komunikasi yang digunakan. Karakter personal sudah barang tentu bisa dilihat. Tapi karakter lintas personal bisa pula dibaca melalui komunikasi kepada sesama. Termasuk komunikasi birokrasi lintas jabatan yang dilakukan. Berkirim pesan pendek dan bagaimana respon yang didapatkan, termasuk dalam momen Idul Fitri, hanyalah sebuah contoh kecil yang diturunkan. Tapi substansi pola komunikasi lintas personal bisa pula dibaca melalui kejadian sehari-hari lainnya.

Maka, komunikasi sehari-hari (everyday atau daily communication) adalah medan pembuktian karakter diri. Inilah yang dalam bahasa risalah kenabian disebut dengan tabligh.  Kecakapan komunikasi interpersonal. Kematangan komunikasi publik. Karena itu, kesantunan berbahasa harus menjadi perhatian bersama. Itu adalah kunci komunikasi interpersonal yang didamba. Bukankah karakter tabligh yang dimiliki secara kuat oleh Rasulullah Muhammad SAW membuatnya sukses menjalankan risalah kenabian dalam waktu singkat? Bukankah bagian dari kecakapan tabligh ini adalah kemahiran komunikasi lintas personal? Tunggu apalagi kita untuk berbenah diri? Ayo dimulai!